Jimbar...
(Part III)
"Aku masih terpaku melihat kedua
orangtuaku kebingungan menggeledah seisi rumah yang mendadak terlihat sangat
rapi tak seperti biasanya. Kami curiga jangan-jangan ada pencuri yang menyusup
ke dalam rumah yang seharian ini kosong kami tinggalkan, tapi pikirku.. mana
mungkin pencuri seniat ini membereskan seisi rumah tanpa terkecuali? Sebagai
anak laki-laki paling besar dikeluarga ini, harusnya aku bisa memecahkan
teka-teki siapa orang yang ada dibalik kebingungan kami semua hari ini.
Layung adik perempuan pertamaku
pergi untuk selamanya hari ini, keluargaku tengah terluka dan berduka. Aku
harus bersikap tegar, meski tak jarang kupalingkan wajah untuk mengusap setitik
air mata yang jatuh dipipi. Aku tak mau membuat Antik, Ibu, dan Ayah lebih
terluka jika melihat aku juga terluka atas perginya Layung…
Kurangkul tubuh ibu yang lelah
mencari tahu siapa orang yang menyusup masuk ke dalam rumah yang seharian ini
kami tinggalkan saat mengantar jenazah Layung ke kota Bogor sebagai kota
peristirahatan terakhirnya. “Bu, sudah yah… siapapun orang itu, sepertinya dia
baik karena mau membereskan seisi rumah tanpa mengambil satu barangpun dari
rumah ini..” ayah mengangguk tanda setuju sambil perlahan menggantikkanku
merangkul Ibu yang tampak lelah dengan tatapan mata kosongnya.
Sebelum hari ini datang, rumah ini
selalu penuh dengan warna, semua orang yang tinggal di rumah ini memiliki
karakter manusia yang berbeda-beda. Ibu seorang seniman dibidang teater, ayah
seorang dokter, aku seorang akuntan, Layung seorang mahasiswi yang memilih
untuk bergelut dibidang teknik sipil, dan si kecil Antik masih bersekolah dan
berencana untuk melebarkan sayapnya menjadi seorang pelukis. Dengan perbedaan
hobi, sifat kamipun berbeda. Ibu sangat kreatif dan eksentrik, ayah sangat
pintar dan logis, aku lebih memilih menjadi seorang pria ramah dan penyayang,
Layung cukup tomboy dan baik hati, sesuai dengan namanya… Antik yang terkecil
juga memiliki karakter yang cukup unik, dia eksentrik namun logis, perpaduan
antara Ibu dan Ayah. Kami tertaut dalam satu ikatan darah, aku bahagia menjadi
bagian dari keanekaragaman ini.
Layung hanya terpaut 4 tahun
denganku, hubungannya denganku sangatlah dekat… jika ada sebutan untuk sebuah
hubungan lebih daripada saudara kandung namun bukan kekasih maka itulah kami.
Layung yang cantik, cuek dan ceria selalu membuat hari-hariku berwarna, pernah
satu kali saat kami masih kecil, gerombolan anak-anak laki-laki di komplek
hampir mengeroyokku dengan alasan kurang jelas, mereka bilang aku angkuh dan
sombong. Aku yang hanya sendirian merasa sangat ketakutan berhadapan dengan
mereka, tiba-tiba Layung yang jauh lebih mungil dari kami semua muncul dengan
tatapan galak membelaku sambil memukuli mereka satu-persatu hingga membuat
mereka kabur. Layung begitu santun terhadapku, orangtua kami, bahkan pada Antik
adik bungsu kami. Meski tomboy, Layung adalah seorang perempuan yang sangat
ahli dalam memasak. Masakan Layung cukup populer ditengah keluarga besarku, dia
tak keberatan jika saudara jauh keluargaku memesan ini itu darinya untuk
dimasak, Layung adalah kesayangan semua orang.
Layung sering mengeluhkan sakit
kepalanya, kami tidak pernah tahu seserius apa sakit kepalanya. Layung selalu
saja tersenyum meski kesakitan, hal itu yang membuat kami yakin bahwa dia
baik-baik saja. Layung tak pernah meminta memeriksakan penyakitnya, meski Ayah
kami memaksanya. Ayah seorang dokter, dia tahu ada sesuatu tak beres menyangkut
kesehatan Layung, namun Layung tak pernah mau ditangani Ayah, selalu saja dia
berkata “Aku baik-baik saja kok yah!”
Malam tadi dia tertidur sepulang
kuliah di kamar Ibu, lagi-lagi dia keluhkan sakit kepalanya. Tak ada pertanda
apapun bahwa dirinya akan pergi dari kami semua, Layung pergi meninggalkan kami
dalam keadaan tertidur, di tempat tidur Ibu. Tak ada hujan, kepergian layung
bagai halilintar yang menyambar tepat ke hati kami semua, termasuk hatiku yang
begitu menyayanginya. Tak pernah keluarga kami merasakan kepedihan sedalam ini.
Semua datang secara tiba-tiba, keluargaku yang terbiasa dibuai oleh kebahagiaan
dalam sekejap berubah menjadi keluarga murung yang dirundung duka mendalam.
Antik menjerit dengan hebatnya
berteriak memanggil Ayah yang masih merangkul Ibu, suaranya terdengar dari arah
dapur yang bersebelahan dengan ruang makan. “Ayaaaaah Ibuuuuuu Jimbaaaaar lihat
ini!!!”, Antik kembali berteriak namun kini dengan getaran seolah dia hendak
menangis. Matanya membelalak hebat, mukanya pucat pasi, tangannya menunjuk ke
arah meja. Mataku mengarah pada benda dalam piring besar yang tersaji diatas
meja makan, arah yang ditunjuk oleh telunjuk antik yang kini menangis memeluk
ayah yang mulai berteriak meneriakkan asma Allah. Diatas meja makan kulihat
sepiring masakan yang terlihat tak asing bagi keluargaku, sepiring
oseng-oseng lidah sapi saus tiram, makanan kesukaan Antik yang hanya bisa
dibuat oleh Layung. Layung yang menciptakan masakan ini, oleh karena itu aku
yakin hanya Layung yang bisa membuatnya. “Allahuakbar..” aku berteriak ikut
menjerit melihatnya, disusul tangisan Ibu yang mungkin baru menyadari
pemandangan haru yang sedang kami lihat. Ibu, Antik, Ayah dan aku sama-sama
mencicipi oseng-oseng itu, rasanya sangat mirip masakan Layung. Kami berempat
berpelukan, aku tak tahan menahan air mata yang seharian ini sudah berhasil
kutahan. Antik berteriak memanggil nama Layung, “Layuuuuung…. Layuuuung…
terimakasih…terimakasih..”. Aku tak kuasa lagi menahan rasa sedih, kudekap
kepala Antik berharap dia berhenti berteriak karena hanya akan membuat hati
semua orang semakin terluka atas kepergian Layung.
Layung meski kau pergipun kau masih
saja baikhati mempedulikan kami semua… terimakasih untuk masakanmu yang kuyakin
kau buat sendiri untuk Antik.
Ibu seperti terperanjat kaget sambil
mendadak berlarian ke lantai atas rumah, dia masuk ke dalam kamarnya dengan
sangat cepat dan lagi-lagi kudengar teriakannya, kali ini dia berteriak
memanggil kami semua. Kamar ibu yang terakhir kali kami lihat begitu berantakan
kini terlihat sangat rapi. Kasur tempat pembaringannya untuk yang terakhir kali
kini sudah tak kusut lagi. Baju yang berserakan kini sudah berada di tempatnya
masing-masing, kami yakin hanya Layung yang tahu letak dimana barang-barang
bergeletakkan itu seharusnya berada. Saat semuanya masih terpaku penuh haru,
aku mengomando semuanya untuk masuk ke dalam kamar Layung, sekedar ingin tahu
apa yang terjadi di dalam kamarnya jika memang dia yang melakukan semua ini.
Semua sudah masuk ke dalam kamar Layung, suara tangis kembali memecah rasa
kaget kami….
Tempat tidur Layung yang terakhir
kali terlihat berantakan dengan sprey berwarna Hijau Tosca kini berganti
menjadi sprey berwarna putih dengan corak bunga rose berwarna putih. Layung
pernah berkata didepan kami semua, “Jika kalian ingin tahu suasana hati aku,
lihat saja sprey kamarku! Kalau berwarna hijau, berarti aku sedang pusing entah
pusing kuliah atau apapun itu. Kalau warnanya putih, berarti aku lagi senang
dan bahagia!”. Diatas tempat tidurnya kulihat sajadah dan mukena terlipat yang
sepertinya habis dipakai shalat oleh seseorang, Ibu meraih mukena itu dan
menciuminya… kembali kudengar Ibu menangis menyebut nama Layung. Kuambil mukena
itu untuk melakukan hal sama seperti yang Ibu lakukan. Air mata semakin
membanjiri wajahku, mukena yang sedang kuciumi begitu identik dengan wangi
parfum Layung, baunya seperti bau adikku.
Kami berpelukan, aku tahu kaupun
ikut berpelukan bersama kami disini… Layung, kau adik yang sangat baik, aku
yakin Tuhan akan memperlakukanmu dengan baik juga disana…."
Thursday,
November 24, 2011