Antik...
(Part II)
"Hujan mengguyur kota Bogor, petir
saling menyambar seolah sedang berlomba mengejar sesuatu yang bisa mereka
kenai. Aku duduk di kursi paling belakang minibus yang pagi ini berangkat dari
Bandung, kota yang sudah kutinggali hampir 15 tahun lamanya. Bogor memang kota
kelahiran Ibu dan Ayah, begitupula anak-anak mereka. 15 Tahun yang lalu saat
umurku masih 1 tahun, orangtuaku mengajak seluruh anggota keluarganya pindah ke
Bandung. Aku tidak terlalu suka hujan, apalagi hujan hari ini…. Membuatku
semakin tak menyukainya. Entah sudah berapa lama lamunanku terus menerawang
gelapnya deras hujan yang membuat mataku tak bisa menembus apa yang ada dibalik
rintiknya. Entah sudah berapa lama aku tidak mengingatnya, namun sepanjang hari
ini air mata terus menurus menetes bagai hujan, tak biasanya aku seperti ini,
rasanya seperti sangat rapuh dan lemah.
Aku terlahir di keluarga yang sangat
nyentrik namun harmonis, aku suka sekali menjadi bagian dari hidup kedua
orangtua dan dua kakak yang kurasa mereka sangat menyayangiku. Tidak ada aturan
yang mengikat dikeluarga ini, semuanya sibuk menjadi diri sendiri, namun
kebebasan ini tetap dijaga dengan tanggung jawab tinggi, kami semua bertanggung
jawab atas diri kami masing-masing. Ibu bukan wanita galak, dia kelewat
eksentrik namun sangat kreatif dan menyenangkan. Ayah bukan laki-laki cerewet
namun tegas dalam menyikapi beberapa hal yang dianggapnya serius, sikapnya
membuat kami segan pada sosoknya.
Hati ini rasanya sangat tak karuan,
sama halnya dengan kepala dan pikiran. Ya, ini adalah hari terburuk dalam
hidupku… buruk sekali…
Hubunganku dengan keluarga sangatlah
dekat, terlebih dengan Ayah dan kakak perempuanku Layung. Beliau selalu
memberikan support penuh jika aku mulai menginginkan sesuatu yang berhubungan
dengan karya seni. Aku begitu suka melukis, apalagi melukis sosok seseorang,
ibu tak suka itu. Sebenarnya ibu lebih suka agar aku menjadi seorang Dokter
saja, namun sayang minatku rasanya kurang banyak untuk menjadi seorang dokter.
Selepas lulus SMA nanti aku sangat yakin 100 % untuk mengikuti ujian seleksi
sebuah universitas kesenian ternama di Jogjakarta, Ibu sudah tidak bisa berkata
banyak jika Ayah saja sudah mendukungku untuk melakukannya.
Dua kakakku adalah dua anak manusia
paling menyenangkan yang ada diseluruh dunia, rasanya mungkin tak akan sama
jika aku dilahirkan tidak menjadi adik bungsu mereka. Kakak lelakiku bernama
Jimbar, dan yang perempuan bernama Layung. Jimbar baru saja lulus kuliah,
karena kecerdasannya, sebelum lulus kuliah beberapa perusahaan sudah
mengincarnya. Jimbar adalah seorang tampan yang amat penyayang, sayang sampai
detik ini belum juga dia kenalkan pasangannya kepada kami semua. Aku dan Layung
seringkali mencibirnya karena seumur hidupnya dia belum pernah berpacaran
bahkan tertarik pada lawan jenis. Layung adalah kakak perempuanku, seorang
mahasiswi Teknik Sipil semester 6 yang juga cantik dan pintar, menurut
pendapatku Layung adalah versi muda dari Ibu, namun Layung adalah versi
normalnya karena sikapnya tidak nyentrik seperti Ibu. Layung sangat
menyayangiku, banyak hal yang kubagi dengannya, soal pelajaran-pelajaran
sekolah, soal cowok-cowok yang mendekatiku, bahkan soal perseteruanku dengan
Ibu… Layung selalu ada di barisan terdepan dalam hal membelaku. Sayang dia
begitu tertutup masalah percintaan, sama seperti Jimbar… Layung belum pernah
mengajak satupun pria kedalam rumah. Ada hal yang selalu kukhawatirkan soal
Layung, fisiknya terlalu lemah untuk melakukan hal yang berhubungan dengan
kegiatan fisik, dia selalu megeluh kelelahan. Hampir setiap malam kulihat dia
mengaduh menjerit sendirian di kamarnya mengeluhkan sakit kepala yang dia
derita belakangan ini, hanya aku yang mendengar tangisannya setiap malam… kamar
kami berdekatan, namun tak cukup berani bagiku bertanya soal rasa sakitnya
karena Layung tak suka dikasihani. Ayah pernah memaksanya memeriksakan kesehatan,
namun Layung selalu menolak dan menganggap dirinya baik-baik saja. Aku yakin
hari ini seluruh anggota keluarga di rumahku menyesali kenapa saat itu tak
memaksa Layung saja untuk memeriksakan kesehatannya meski dia menolak.
Hari ini adalah hari takkan pernah
bisa kulupakan, hari dimana tak hentinya kulayangkan semua kenangan indah
tentang keluarga bahagiaku…
Waktu sudah menunjukkan pukul 9
malam saat kendaraan yang kutumpangi kembali memasuki wilayah kota Bandung.
Sepi sekali suasana didalamnya, biasanya riuh canda tawa selalu ada disetiap
perjalanan jauh yang kujalani, aku suka sekali bercanda dan membuat kegaduhan,
tapi hari ini… malam ini… aku lebih suka berdiam diri tak menggubris
semua pertanyaan maupun sapaan yang mendarat ditelingaku. Hati ini seperti
berhenti berdegup saat mobil memasuki gerbang komplek rumah kami, semua yang
ada di mobil ini sepertinya mengalami perasaan yang sama sepertiku. Rasanya
kenangan yang ada di kepala kami semakin berputar-putar tak karuan. Air mata
kembali terurai menyebar di pipi, kulihat Ibu yang duduk disebelahkupun tengah
mengisak pelan sambil tak henti-hentinya mengucapkan kalimat-kalimat yang
memuji keagungan Tuhan, ingin rasanya kumemelukmu bu… tapi maaf akupun tak
mampu mengatasi kesedihan ini, biarkan kita sama-sama saling mengobati luka ini
ya bu…
Jimbar turun membukakan pintu depan
rumah, tak pernah kulihat wajahnya sesedih ini, Jimbar yang kukenal adalah
Jimbar yang sangat senang mengumbar senyum diwajahnya yang tampan, namun kali
ini lain.
“Assallamuallaikum… “ ayah masuk
paling pertama ke dalam rumah, menyusul Ibu, Jimbar, kemudian aku, hening… tak
ada jawaban. Aku berjalan cepat setengah berlari menuju kulkas yang ada di
dapur, haus sekali setelah seharian menangis tanpa minum dan makan. Nafsu
makanku masih belum kembali, namun akhirnya setelah seharian mengunci mulut
dari apapun aku merasa haus juga. Kuambil teko es teh manis yang ada di kulkas,
kutuangkan kedalam gelas, kuminum dengan cepat… tanganku masih
meraba-raba tombol untuk menyalakan lampu dapur saat kudengarkan teriakan Ibu
menggema dari tengah ruang tamu. Aku berlari tangkas menuju ibu dan yang
lainnya berada, kulihat mata ibu membelalak kaget menunjuk tangannya pada vas
bunga berisi kumpulan karangan bunga yang tadi pagi masih berserakkan diseluruh
penjuru rumah saat kami bertolak menuju Bogor. “siapa yang membereskan ini
semuaaaa?!”, ibu kembali berteriak dengan suara lantang. Benar saja, kulihat
kesekelilingku semuanya tertata dengan amat rapi, tak pernah rumah kami serapi
ini. Ayah yang daritadi terlihat bingungpun ikut terlihat heran dengan
pemandangan yang kini menjadi tontonan aku, Jimbar, dan beberapa kerabat kami
yang baru saja datang terlambat sampai ke rumah.
Aku kebingungan dengan semua ini,
rasa-rasanya hari ini tak ada siapapun yang tinggal di rumah… kami semua
berangkat ke Bogor mengantar jasad Layung ke tempat peristirahatan terakhirnya…"
No comments:
Post a Comment