Friday, May 26, 2017

Bom Bunuh Diri Itu dan Keluh Kesahku Menyambut Ramadhan






          "Andai korban itu org terdekat anda, masihkah anda bilang serangan teror itu pengalihan isu? Siapapun bisa jadi korban bila kebetulan ada di sana." Setuju saya dengan pernyataan Profesor Nadirsyah Hosen (Ketua/Rois Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia & New Zealand) mengenai kejadian bom bunuh diri di daerah Kampung Melayu, Jakarta (24/05/2017) yang pastinya menimbulkan polemik pro kontra di tanah air. Terlebih berkaitan dengan isu sentimen agama. Dan pula, seolah-olah pula ujian dari Allah untuk negeri ini tak ada hentinya. Dari apa yang saya baca melalui media massa dan Twitter sesaat setelah kejadian tersebut, ada fenomena yang ingin saya angkat sedikit ke permukaan. 

            Seketika itu pula teringat kata-kata saya kepada Tuhan ketika saya sedang curhat ke Dia dalam suatu sholat fardhu. Dalam hati, saya berkata, "Ya Allah kejadian bom bunuh diri kemarin-kemarin terjadinya pas ada pawai obor menjelang puasa Ramadhan loh. Kata beberapa orang yang menyaksikan, peserta pawai dimana kebanyakan anak-anak (tak tahu diajarkan oleh siapa), mereka pada berseru, "bunuh-bunuh!" gitu. Menyeramkan sekali dan membuat hati saya miris. Kan saya jadi teringat saat proses manusia ingin diciptakan ketika para malaikat bertanya, "Mengapa ya Allah, Engkau menciptakan manusia yang nantinya akan banyak menumpahkan darah?". Lalu Allah menjawab, "Aku lebih tahu terhadap apa yang kalian tidak ketahui!". Yup benar juga, Engkau Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Perencana yang Baik sedangkan kami hanya mahkluk yang lemah tiada berdaya yang terkadang beribadah tak teratur serta tak tentu arah. Pasti ada pesan yang ingin Kau sampaikan melalui peristiwa bom bunuh diri kemarin. Berikanlah kami kelapangan hati beserta keteguhannya agar selalu kami yakini bahwa Engkaulah Yang Maha Segalanya. 

            Engkau Maha Berilmu dan Maha Berakal. Tidak kah Kau turunkan ayat-ayatMu, Kau utus Nabi dan RasulMu, Kau ciptakan peristiwa-peristiwa agar kami berpikir. Agar kami mampu memakai otak pemberianMu ini. Agar kami mendalami dan mengkaji ayat-ayatMu lalu mempraktekannya dalam kehidupan sosial. Agar kami petik pelajaran dan hikmah dari sebuah sejarah guna mengamalkan yang baik-baik dan meninggalkan yang buruk-buruk demi kemajuan peradaban kami bukan malah membawa kembali pemikiran kami ke zaman primitif. Engkau Maha Besar, tak perlu kami mengerdilkan kebesaranMu dengan membelaMu segala apalagi dengan berteriak-teriak karena Kau Maha Mendengar, Kau tidak TULI! Apalagi kami khawatir dan takut, disaat kami lantang menyerukan takbir kebesaranMu, keagunganMu, tetapi perilaku kami jauh dari apa yang kami pekikkan tersebut. Kami sadar, kamilah yang mencemarkan namaMu yang disatu sisi kami sangat yakin akan kesucian namaMu namun mempermainkanMu untuk urusan keduniawian seperti politik praktis, urusan kekotoran seperti korupsi, atau urusan mencari keuntungan finasial semata seperti bisnis. Ya Allah Dzat Maha Mengetahui, Engkaulah yang pantas menentukan apakah manusia itu kafir atau tidak. Jangan biarkan kami ambil kuasaMu dengan seenak-enaknya mengkafir-kafirkan sesama kami. Urusan hati manusia, Engkaulah yang paling tahu. 

              Engkau Maha Keindahan, Kau sediakan bidadari tercantik yang paling indah di alam semesta ini. Kami pasti mau itu, tapi kami ragu. Mana mungkin bidadari-bidadariMu mau dengan kami yang berjihad menggunakan bom bunuh diri guna mengakhiri hidup kami dan hidup orang lain, membunuh sesama kami, dan mengakibatkan hancur pulalah tubuh kami ini. Ya Allah yang Maha Berseni Tinggi, kami sangat kagum akan hasil kreasimu dalam penciptaan alam semesta ini begitupun dalam penciptaan tubuh kami yang sangat-sangat presisi. Kau ciptakan talenta kami masing-masing berbeda. Izinkanlah kami mensyukurinya dengan mengapresiasikannya melalui karya kami entah melalui media musik, lukisan, gerak tubuh, tulisan, budaya/tradisi, dll selama tidak mengusik keimanan dan ketauhidan kami kepadaMu. Dan jangan jadikan kami mahkluk yang mengingkari pemberianMu tersebut dengan malah mengharam-haramkannya. Kami ingat betul, bagaimana salah satu orang besar diantara kami, yakni Cak Nun, mengungkapkan bahwa "Musik itu tidak haram atau "berbahaya" selama digunakan untuk kebaikan sebagaimana fungsinya. Yang malah menjadikan musik itu menyimpang adalah niat dan perilaku bermusik manusianya. Beliau ibaratkan musik dengan pisau. Pisau itu bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dan pisaupun akan menjadi berbahaya apabila digunakan untuk membunuh diantara manusia itu sendiri. Namun keeksistensian pisau akan tetap ada terlepas dari baik buruk keberadaannya tergantung kita memanfaatkan pisau tersebut digunakan untuk apa. Begitupun kami meyakini musik. 

               Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyanyang, namun kami tidak menyadari dimanakah rasa kasih sayang kami sebagai wujud kasih sayangMu kepada kami? yang ada kami saling memfitnah satu sama lain, membunuh atas namaMu satu sama lain, membenci satu sama lain. Bukanlah Kau ciptakan kami berbeda suku, bangsa, agama, sifat, watak agar bisa kalian mengenal dan menghormati satu sama lain? Agar pula kami umat manusia saling tolong menolong satu sama lain. HambaMu, yakni Ali bin Abi Thalib pernah mengingatkan bahwa mereka yang bukan bersaudara dalam iman, adalah saudara kami dalam kemanusiaan. Kami patut mengingat, Engkau pula yang memerintahkan kami melalui RasulMu, Muhammad SAW agar selalu berprasangka baik (khusnudzon) diantara kami, bukan malah sebaliknya. Dan sejenak saya terdiam lalu terhening. Lalu kuteruskan unek-unekku kembali, berbicara kembali kepadaNya. Ya Allah, kami sadar kemerdekaan kami bangsa Indonesia adalah berkat rahmatMu melalu usaha persatuan kami untuk mewujudkannya. Kami ingin belajar dan lebih dalam memahami sifatmu yang Maha Pemersatu! Berikanlah kami kekuatan agar bisa menghalau usaha-usaha dari beberapa golongan kami yang ingin memecah belah  pemersatu kami dalam NKRI dengan tameng berupa dasar negara berbentuk Pancasila dan UUD 1945. Kami paham betul kami akan kuat apabila bersatu tanpa mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada dan kami akan lemah apabila tercerai berai dengan terus saja berdebat tanpa ujung, dengan terus mempermasalahkan hal-hal sepele diantara kami. Kami tahu, dasar negara kami ini merupakan buah pemikiran dari para tokoh bangsa dan ulama sejak masa pra-Kemerdekaan, Kemerdekaan, dan pasca-Kemerdekaan sehingga takkan mungkin membuat kami "melenceng" dalam berkehidupan mengingat tokoh-tokoh nasional dan para ulama yang terlibat adalah yang kompeten (berilmu tinggi soal pemahaman agama, politik, dan bernegaranya) serta berkomitmen tinggi (benar-benar mementingkan kepentingan publik diatas kepentingan pribadi maupun golongannya) guna mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.  

                 Terakhir, wahai Dzat yang Maha Pengampun. Terima kasih telah Kau sediakan kesempatan untuk kami bertaubat, untuk kami menggugurkan dosa-dosa. Teruntuk bulan Ramadhan, terima kasih Kau telah bukakan pintu maaf dan pintu taubat untuk kami yang sebesar-besarnya. Semoga kami pandai menggunakan momen Ramadhan tahun ini untuk menginstrospeksi diri kami masing-masing. Kamipun ingat, Engkaupun Maha Penguji. Mana ada kami berpuasa tanpa Kau beri ujian. Jadikan kami pribadi yang rela dengan tidak melarang tempat-tempat makan yang tetap buka selama Ramadhan. Itu bisa jadi sebagai ujian buat kami. Karena apabila kami benar-benar niat berpuasa dan mengharap ridhoMu, kami tidak akan tergoda hal kecil seperti itu. Karena esensinya, berpuasa itu bukan hanya menahan lapar dan dahaga belaka. Ucapan syukur dan rasa terima kasih pastinya tidak akan cukup untuk membalas kasih sayangMu kepada kami. Kami berjanji akan memperbaiki diri selama Ramadhan ini. Bantu kami ya Allah. Karena tanpa "insya Allah", usaha kami pasti akan sangat berat. Aamiin." Saya pun segera mengakhiri sujud dalam salah satu curhatku itu seraya mengucapkan salam sebagai penutup, dimana itu salah satu tanda bukti kepedulianku terhadap alam semesta dan seluruh penghuninya. Semoga salam, kasih sayang, dan keselamatan dari Allah tercurah kepada kita semua dan seluruh semesta alam. Marhaban ya Ramadhan 1438H.



Saturday, May 13, 2017

"Foremost" & "Paramore Bandung" Ketika Kembali Pulang




"And the salt in my wounds isn't burning anymore than it used to // It's not that I don't feel the pain, it's just I'm not afraid of hurting anymore // And the blood in these veins isn't pumping any less than it ever has // And that's the hope I have, the only thing I know that's keeping me alive."

           Penggalan "bridge" yang membuat saya (sejenak) tertegun tatkala sebuah band yang tergabung dalam "Foremost" tampil membawakan lagu dari "Paramore" berjudul "Last Hope". Dan itu terjadi pada helatan "Listening Party of After Laughter" garapan kawan-kawan Paramore Bandung. Penampilan mereka yang cukup rapi dan didukung oleh kemampuan olah vokal dari sang vokalis yang (bagiku) mumpuni, membuat lagu yang disajikan secara akustik terlihat berjiwa. 

              Ada catatan khusus dariku yang dimana hampir sepanjang penampilan mereka, saya banyak memfokuskan diri kepada pembawaan vokalis diatas panggung yang menawan hati. Karena jujur saja, entah angin apa yang menuntun saya untuk langsung maju ke depan guna menikmati penampilan ciamik dari mereka kala itu tanpa mengesampingkan beberapa penampilan dari band-band lainnya yang tampil juga pada event tersebut seperti "Mistletoe", Shiltz", "Clap", dan "Pistol Air". Kapan kala itu terjadi? Hhmm, ketika ku tengok layar hp ku dan lalu kubuka, nampak "May, 12th 2017" tertera disana. Bertepatan dengan hari kedatanganku kembali ke kota yang (ternyata) bukan semata persoalan geografis saja namun juga ada keterlibatan perasaan sebagai selimutnya. Sebagaimana perasaan "lala"-ku (lala adalah ungkapan perasaan yang tidak dapat teruraikan oleh kata-kata) kepada Brigitta Della (si vokalis) yang beradu dengan dinginnya cuaca kota. 

           Sungguh, malam itu warung "What's Up", Cihampelas, Bandung, meninggalkan kesan menyenangkan bagiku. Terlebih, event tersebut merupakan event yang baru dibuat kembali oleh komunitas Paramore Bandung setelah cukup lama absen menggarap sebuah gelaran serta sebuah momentum bagi saya pribadi untuk bersua kangen dengan kawan-kawan terkasih di Bandung. Selamat untuk "Foremost", selamat untuk Paramore Bandung, dan selamat juga untuk saya (biar adil). Maha Keren Allah dengan segala keasyikan-Nya.

Kesampaian Figura Renata





           Membicarakan Figura Renata memang tiada hentinya. Duo folk asal kota Semarang ini memang gencar diberitakan oleh beberapa media musik khususnya, baik cetak maupun online. Kebersinaran mereka mulai nampak pasca peluncuran "single" pertamanya, yakni "Elegi" di tahun 2016 silam. Dan nampaknya, temaram sinar mereka masih terus bertahan lama dimana pada Februari 2017 kemarin, debut album mereka bertajuk "Self Titled" (Sahaya Records) resmi dikeluarkan ke pasar secara digital melalui kanal-kanal unduh musik online. Dan, segala puji hanya milik Allah, saya berkesempatan untuk menyimak penampilan mereka ketika mereka mengisi line up artists bersama "Barasuara", "Serempet Gudal, dan Good Morning Everyone dalam helatan "A Mild Soundsations X Barasuara". 

             Momen itu datang. 15 Maret 2017 bertempat di GOR Tri Lomba Juang, Semarang, Figura Renata tampil sebagai band pembuka. Membawakan (kurang lebih) 7 lagu yang sebagian besar terdapat di album pertama mereka tersebut serta "cover song" milik Lana Del Rey berjudul "Summertime Sadness" yang kebetulan merupakan salah satu lagu kesukaan saya. Tercetus keraguan awalnya mengingat vokal dari sang vokalis, Deviasita Putri, terdengar biasa pada lagu-lagu mereka. Dan, keraguanpun sirna sudah, karakter vokal dari Devia ternyata cukup khas (identik dengan karakter suaranya solois Alanis Morrissette beradu dengan alunan suara gitar akustik yang menyejukkan petikan Bima Sinatrya Sakti dan itu membuat saya sangat menikmati penampilan mereka. Oia, satu hal yang tidak bisa dihiraukan ialah kepiawaian Devia memainkan jari lentiknya pada tuts piano. Lagu-lagu seperti "Elegi", "Mala", "Gersang", dll., saya nikmati sembari fokus menatap penampilan keduanya yang tampil cukup kalem kala itu. 

             Satu catatan penting di benak saya, nampaknya sensasi band folk yang tampil di tempat yang cukup terbuka seperti stadion atau gelanggang olah raga nampaknya kurang pas. Mengingat musik folk itu (mungkin) musik tematik. Akan didapat "feel" nya bila dibawakan di tempat-tempat yang "folk" banget laiknya tempat cagar budaya, pegunungan, pantai, ataupun hutan kota. Ya hanya catatan kecil namun tidak sampai membuat hati saya merenguh melupakan momen bagus menikmati Figura Renata hari itu.

<Pangky Jonathan Asikin // @paijoasik>

Sunday, April 22, 2012

Pamit. (Part IV) -nya Risa Saraswati


Pamit. (Part IV) 

Aku melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri…

Kulihat mereka semua menangisiku

Aku berteriak memangil mereka

Aku menangis menyadari mereka tak mampu lagi mendengarku

Tuhan, aku ini sudah meninggal?

Tuhan, benarkah itu?

Jika memang benar, bisakah kauijinkan satu hari saja berkumpul bersama mereka?

Sepertinya tidak bisa ya? Karena untuk beberapa saat aku hanya membisu dan tak mendengar satupun petunjuk darimu.

TUHAN KENAPA HARUS SEKARANG?

TUHAN KENAPA TAK BESOK LUSA ATAU LUSA NANTI SAJA SAAT AKU SUDAH MENDAPATKAN GELAR SARJANAKU?

KENAPA HARUS HARI INI?

Aku ingin membahagiakan kedua orangtuaku… melihat Jimbar menikah… melihat Antik menjadi seorang mahasiswi…

Sepertinya aku tidak bisa bernegosiasi denganmu Tuhan…

Baiklah… beri aku waktu beberapa menit saja, setelah itu tolong tunjukkan jalan untukku benar-benar pulang..

Aku ingin pamit

Aku tak ingin mereka sakit

Aku ingin berterimakasih

Dan berkata “Ayah, Ibu, Jimbar, Antik… Kepalaku tak sakit lagi, badanku tak lemah lagi, kalian tak usah mengkhawatirkanku karena Tuhan akan menjagaku dengan baik”

Tuhan, berjanjilah untuk mengabulkan ini… berjanjilah untuk menjaga mereka selagi aku kembali ketempatmu…

Aku ikut berpelukan ditengah mereka..

Yang berkumpul dalam kamarku yang kini sempit karena kami berlima..

Mereka tak sadari kehadiranku

Namun kuyakin mereka merasakan kasih sayangku..

Selamat tinggal Ayah, Ibu, Jimbar, Antik…

Aku pamit.





"Layung"















Posted by Risa Saraswati at 7:23 AM http://img1.blogblog.com/img/icon18_email.gif
Thursday, November 24, 2011

Jimbar... (Part III) -nya Risa Saraswati


Jimbar... (Part III) 


"Aku masih terpaku melihat kedua orangtuaku kebingungan menggeledah seisi rumah yang mendadak terlihat sangat rapi tak seperti biasanya. Kami curiga jangan-jangan ada pencuri yang menyusup ke dalam rumah yang seharian ini kosong kami tinggalkan, tapi pikirku.. mana mungkin pencuri seniat ini membereskan seisi rumah tanpa terkecuali? Sebagai anak laki-laki paling besar dikeluarga ini, harusnya aku bisa memecahkan teka-teki siapa orang yang ada dibalik kebingungan kami semua hari ini.

Layung adik perempuan pertamaku pergi untuk selamanya hari ini, keluargaku tengah terluka dan berduka. Aku harus bersikap tegar, meski tak jarang kupalingkan wajah untuk mengusap setitik air mata yang jatuh dipipi. Aku tak mau membuat Antik, Ibu, dan Ayah lebih terluka jika melihat aku juga terluka atas perginya Layung…

Kurangkul tubuh ibu yang lelah mencari tahu siapa orang yang menyusup masuk ke dalam rumah yang seharian ini kami tinggalkan saat mengantar jenazah Layung ke kota Bogor sebagai kota peristirahatan terakhirnya. “Bu, sudah yah… siapapun orang itu, sepertinya dia baik karena mau membereskan seisi rumah tanpa mengambil satu barangpun dari rumah ini..” ayah mengangguk tanda setuju sambil perlahan menggantikkanku merangkul Ibu yang tampak lelah dengan tatapan mata kosongnya.

Sebelum hari ini datang, rumah ini selalu penuh dengan warna, semua orang yang tinggal di rumah ini memiliki karakter manusia yang berbeda-beda. Ibu seorang seniman dibidang teater, ayah seorang dokter, aku seorang akuntan, Layung seorang mahasiswi yang memilih untuk bergelut dibidang teknik sipil, dan si kecil Antik masih bersekolah dan berencana untuk melebarkan sayapnya menjadi seorang pelukis. Dengan perbedaan hobi, sifat kamipun berbeda. Ibu sangat kreatif dan eksentrik, ayah sangat pintar dan logis, aku lebih memilih menjadi seorang pria ramah dan penyayang, Layung cukup tomboy dan baik hati, sesuai dengan namanya… Antik yang terkecil juga memiliki karakter yang cukup unik, dia eksentrik namun logis, perpaduan antara Ibu dan Ayah. Kami tertaut dalam satu ikatan darah, aku bahagia menjadi bagian dari keanekaragaman ini.

Layung hanya terpaut 4 tahun denganku, hubungannya denganku sangatlah dekat… jika ada sebutan untuk sebuah hubungan lebih daripada saudara kandung namun bukan kekasih maka itulah kami. Layung yang cantik, cuek dan ceria selalu membuat hari-hariku berwarna, pernah satu kali saat kami masih kecil, gerombolan anak-anak laki-laki di komplek hampir mengeroyokku dengan alasan kurang jelas, mereka bilang aku angkuh dan sombong. Aku yang hanya sendirian merasa sangat ketakutan berhadapan dengan mereka, tiba-tiba Layung yang jauh lebih mungil dari kami semua muncul dengan tatapan galak membelaku sambil memukuli mereka satu-persatu hingga membuat mereka kabur. Layung begitu santun terhadapku, orangtua kami, bahkan pada Antik adik bungsu kami. Meski tomboy, Layung adalah seorang perempuan yang sangat ahli dalam memasak. Masakan Layung cukup populer ditengah keluarga besarku, dia tak keberatan jika saudara jauh keluargaku memesan ini itu darinya untuk dimasak, Layung adalah kesayangan semua orang.

Layung sering mengeluhkan sakit kepalanya, kami tidak pernah tahu seserius apa sakit kepalanya. Layung selalu saja tersenyum meski kesakitan, hal itu yang membuat kami yakin bahwa dia baik-baik saja. Layung tak pernah meminta memeriksakan penyakitnya, meski Ayah kami memaksanya. Ayah seorang dokter, dia tahu ada sesuatu tak beres menyangkut kesehatan Layung, namun Layung tak pernah mau ditangani Ayah, selalu saja dia berkata “Aku baik-baik saja kok yah!”

Malam tadi dia tertidur sepulang kuliah di kamar Ibu, lagi-lagi dia keluhkan sakit kepalanya. Tak ada pertanda apapun bahwa dirinya akan pergi dari kami semua, Layung pergi meninggalkan kami dalam keadaan tertidur, di tempat tidur Ibu. Tak ada hujan, kepergian layung bagai halilintar yang menyambar tepat ke hati kami semua, termasuk hatiku yang begitu menyayanginya. Tak pernah keluarga kami merasakan kepedihan sedalam ini. Semua datang secara tiba-tiba, keluargaku yang terbiasa dibuai oleh kebahagiaan dalam sekejap berubah menjadi keluarga murung yang dirundung duka mendalam.

Antik menjerit dengan hebatnya berteriak memanggil Ayah yang masih merangkul Ibu, suaranya terdengar dari arah dapur yang bersebelahan dengan ruang makan. “Ayaaaaah Ibuuuuuu Jimbaaaaar lihat ini!!!”, Antik kembali berteriak namun kini dengan getaran seolah dia hendak menangis. Matanya membelalak hebat, mukanya pucat pasi, tangannya menunjuk ke arah meja. Mataku mengarah pada benda dalam piring besar yang tersaji diatas meja makan, arah yang ditunjuk oleh telunjuk antik yang kini menangis memeluk ayah yang mulai berteriak meneriakkan asma Allah. Diatas meja makan kulihat sepiring masakan yang terlihat tak asing bagi keluargaku,  sepiring oseng-oseng lidah sapi saus tiram, makanan kesukaan Antik yang hanya bisa dibuat oleh Layung. Layung yang menciptakan masakan ini, oleh karena itu aku yakin hanya Layung yang bisa membuatnya. “Allahuakbar..” aku berteriak ikut menjerit melihatnya, disusul tangisan Ibu yang mungkin baru menyadari pemandangan haru yang sedang kami lihat. Ibu, Antik, Ayah dan aku sama-sama mencicipi oseng-oseng itu, rasanya sangat mirip masakan Layung. Kami berempat berpelukan, aku tak tahan menahan air mata yang seharian ini sudah berhasil kutahan. Antik berteriak memanggil nama Layung, “Layuuuuung…. Layuuuung… terimakasih…terimakasih..”. Aku tak kuasa lagi menahan rasa sedih, kudekap kepala Antik berharap dia berhenti berteriak karena hanya akan membuat hati semua orang semakin terluka atas kepergian Layung.

Layung meski kau pergipun kau masih saja baikhati mempedulikan kami semua… terimakasih untuk masakanmu yang kuyakin kau buat sendiri untuk Antik.

Ibu seperti terperanjat kaget sambil mendadak berlarian ke lantai atas rumah, dia masuk ke dalam kamarnya dengan sangat cepat dan lagi-lagi kudengar teriakannya, kali ini dia berteriak memanggil kami semua. Kamar ibu yang terakhir kali kami lihat begitu berantakan kini terlihat sangat rapi. Kasur tempat pembaringannya untuk yang terakhir kali kini sudah tak kusut lagi. Baju yang berserakan kini sudah berada di tempatnya masing-masing, kami yakin hanya Layung yang tahu letak dimana barang-barang bergeletakkan itu seharusnya berada. Saat semuanya masih terpaku penuh haru, aku mengomando semuanya untuk masuk ke dalam kamar Layung, sekedar ingin tahu apa yang terjadi di dalam kamarnya jika memang dia yang melakukan semua ini. Semua sudah masuk ke dalam kamar Layung, suara tangis kembali memecah rasa kaget kami….

Tempat tidur Layung yang terakhir kali terlihat berantakan dengan sprey berwarna Hijau Tosca kini berganti menjadi sprey berwarna putih dengan corak bunga rose berwarna putih. Layung pernah berkata didepan kami semua, “Jika kalian ingin tahu suasana hati aku, lihat saja sprey kamarku! Kalau berwarna hijau, berarti aku sedang pusing entah pusing kuliah atau apapun itu. Kalau warnanya putih, berarti aku lagi senang dan bahagia!”. Diatas tempat tidurnya kulihat sajadah dan mukena terlipat yang sepertinya habis dipakai shalat oleh seseorang, Ibu meraih mukena itu dan menciuminya… kembali kudengar Ibu menangis menyebut nama Layung. Kuambil mukena itu untuk melakukan hal sama seperti yang Ibu lakukan. Air mata semakin membanjiri wajahku, mukena yang sedang kuciumi begitu identik dengan wangi parfum Layung, baunya seperti bau adikku.

Kami berpelukan, aku tahu kaupun ikut berpelukan bersama kami disini… Layung, kau adik yang sangat baik, aku yakin Tuhan akan memperlakukanmu dengan baik juga disana…."


Posted by Risa Saraswati at 7:14 AM http://img1.blogblog.com/img/icon18_email.gif
Thursday, November 24, 2011